Selasa, November 30, 2010

SAYA DAN PUISI: DARI TEMPAT LAHIR, HASRAT DAN TUJUAN

Oleh MARSLI N.O *

DUNIA masa kecil saya adalah sebuah perkebunan yang dihuni pelbagai bangsa manusia. Dunia itu kecil dan agak suram tetapi penghuninya hidup dalam suasana tenteram. Di situ saya lahir dan mengenal manusia  yang hampir senasib: miskin, kerdil dan kurang berpendidikan.

Tetapi saya tidak ingin mempersalahkan takdir kerana situasi yang sedemikian rupa. Saya tahu, banyak negara yang pernah dijajah mengalami nasib yang hampir sama dan serupa.

Di dunia kecil itu, ketika dilahirkan, saya menjadi Melayu kerana bapa dan ibu saya adalah Melayu.

Dan kini, saban tahun, tidak  begitu payah mengingat peningkatan usia saya kerana tahun kelahiran saya adalah  sinonim dengan tahun kemerdekaan negara saya.

Saya percaya dan mengerti. Kemerdekaan sebuah negeri bermakna rakyatnya bebas untuk menentukan arah dan hala pemerintahan negaranya sendiri. 

Tetapi dalam erti kata sebenarnya, apakah tidak mungkin lahir pula penjajah dalam bentuk baru yang ingin menguasai dan membentuk pemikiran rakyat agar selalu tunduk dan bersetuju. Apa lagi bila kuasa menjadi boneka dan siapa yang menguasai dianggap nabi atau wali yang tidak boleh tidak mesti dipercayai segala suruh dan perintahnya.

Kesewenangan dan sikap autorithan yang membelenggu rakyat akhirnya memburamkan wajah dan makna sebenar kemerdekaan yang selalu dicita-citakan manusia, kemerdekaan berubah menjadi utopia dan sia-sia.

Di sebuah negeri yang merdeka, nilai dan harga seorang manusia bukan hanya kerana perutnya telah sendat berisi tetapi sekaligus juga soal bagaimana otaknya diisi dan nilai-nilai kemanusiaan, hak berpolitik dan berbudayanya  juga perlu turut sama diperhitung.

Buat diri saya, kerana tidak mahu sekadar menjadi manusia yang sibuk menguruskan perutnya semata-mata, saya dengan yakin telah memilih menjadi penyair.

Walau saya tahu, menjadi seorang penyair di sebuah negeri yang sedang sibuk dan ghairah untuk menjadi maju, tidak memungkinkan saya menjadi kaya atau selalu disenangi, saya tetap juga menulis dan membacakan sajak-sajak saya.

Saya tidak peduli kalau dianggap manusia yang suka nyentrik dan syok sendiri. Apa lagi kalau seorang penyair seperti sering tidak diacuhkan di negerinya sendiri. Saya memilih untuk tidak meminta tetapi selalu ingin memberi. Diterima atau tidak, tidak pernah membuat saya berputus asa.

Sebagai individu Melayu yang menulis sajak, saya sentiasa menjunjung tinggi nilai kesejagatan dan  menentang sebarang bentuk kekangan yang bobrok dan yang bukan pada kewajarannya.

Di mata saya, setiap manusia adalah sama dan saya sentiasa ingin mengenal serta  bersahabat dengan mereka.  Dan sebagai penyair Melayu di benua Asia, saya selalu berharap agar sajak-sajak saya menjadi jambatan persaudaraan tanpa kenal batas dan sempadan.

Tetapi  menjadi Melayu, buat diri saya, adalah hidup yang selalu berdepan dengan perjuangan  serta dilema. Sebagai manusia Melayu, sejak kecil saya dididik  agar selalu besikap sopan, menghormati orang yang lebih tua dan berkuasa.

Menjadi manusia Melayu juga bermakna saya mesti selalu berbicara dengan bahasa yang merendah dan tidak membentak. Dan agar tidak sampai dianggap kurang ajar, saya mesti selalu berusaha menjadi manusia Melayu yang patuh terhadap norma dan susila ini.

Namun pada akhirnya, saya mesti memilih hala dan arah kepenyairan saya secara sendiri: bersikap berani dan memilih untuk selalu berpihak kepada kebenaran. 

Sebagai penyair  yang lahir dari sebuah dunia kecil dan suram, saya tidak ingin bersekongkol dengan sikap suka berbuat sekehendak hati atas nama politik, yang secara langsung mahupun tidak selalu memangsakan rakyat kecil dan tidak berdaya.

Kerana itulah, saya memilih untuk berteriak dan membentak melalui sajak-sajak saya. Tidak mengapa andai saya dianggap penyair yang kurang ajar dan suka membuat onar semata-mata demi sesuatu yang saya yakini sebagai hak dan benar.  Khususnya untk mereka yang tidak mampu bersuara dan selalu dihenyak kerana kekecilan dan kekerdilannya.

Walau saya tahu teriak dan bentak saya, lewat sajak-sajak saya, tidak akan mungkin menggoyahkan sebuah gunung yang kukuh, namun setidaknya, saya sudah bersuara menyatakan sesuatu yang benar dan hak.

Walau apa dan bagaimana sekalipun,  saya sudah melaksanakan tugas dan tanggungjawab saya sebagai seorang manusia yang kebetulan dianugerahi Tuhan kebolehan sebagai penyair.

 Ogos 28, 2010

* Esei untuk forum di acara Korean-ASEAN Poets Literature Festival


POEM AND I: FROM BIRTHPLACE, DESIRE AND AIMS
By MARSLI N.O

MY childhood world was a rubber plantation resides by variety of people. That world was small and quite gloomy, but the residents live peacefully. I was born there and got to know the people who shared the same fate: they were poor, inferior and quite illiterate.

But I do not want to blame fate for that kind of situation. I am fully aware that for most countries that had been colonized , they probably share almost similar fate.

In that small world,  I was born as a Malay because my parents are Malays.

And now, for each passing years, I never have difficulty to recall my age as I was born on the same year of my country’s independence.

I do believe and understand. A nation’s independence means the people are free to determine its course  and direction according to their will.

However in reality, it is possible that new form of colonialism  will try to invade the mind of the people so that they will obey and acquiesce? This is when power dominates everything and serves like a puppet. The puppeteer gains absolute power and control as the followers follow  and obey their order with an alacrity to obey the saint and the prophet. 
 
All these will spark authoritarian attitudes and rash decisions that violate individual liberties that sooner or later, will diminish the true meaning of independence that the people dream off. In the end freedom is nothing but an utopia.

In a free country, a person’s dignity does not lies solely on the matter of feeding one’s  stomach. Yet, how he feeds his brain with human values, political rights  and  culture should also be taken into consideration.

As for me, I’ve confidently decided to be a poet since I dont want to be a person who is merely engrossed in feeding hiw own stomach.

Even if I knew, in a country that is so passionate in becoming developed nation, it is impossible for a poet like me to become rich or gain any public admiration. But still, I will write and contine to recite my poem.

I don’t care if  I will be considered as eccentric or self-absorbed. Especially when a poet often is a public oblivion in his or her own country. I choose not to ask but instead always giving. Whether it is accepted or not, it will never bring me down.
 
As a Malay who writes poem, I always uphold universal values and resist any form of  limitation or corruption which inappropriate.
 .
From my perspectives, every human is equal and I will always want to know and befriend them. And as a Malay poet in Asian region, I always hope that my poems are building a foundation for friendship that has no boundaries.

But to be a Malay, it is for me, a kind of life that faces constant struggles and dillemas. As a Malay, I was taught to act in decorous manners and to respect the elders and those with influence.

Becoming a Malay means I must always speak with humilty and without raising my voice. And so that I won’t appear rude, I must always  try to become a Malay that conform to these norms and ethics.

Yet in the end, I must choose my own path as a writer: which is being bold and always uphold the truth.

 As a poet, who was born from a confined gloomy world, I wont tolerate political actions which intentionally or unintentionally victimise the opressed.
  
For these reasons, I choose to shout and snap through my poems. It does not matter for me if I am being label as a punk who incite chaos for voicing out something that I believe as true and appropriate. Especially voicing out for those who are not able to speak up and have always been marginalized just because they are the minorities and inferior compared to the rest.

Through my poems, I am fully aware that all the bursts and contstant outcries might not even melt a sturdy mountain, but at least I have voiced things which are true and rightly appropriate. 

No matter what and how it is, I have fulfilled my responsibility and duty as a human being that is coincidently gifted by God with the talent of a poet.

 Ogos 28, 2010

Translated by Marziah Ramli.

Isnin, November 29, 2010

HADIAH SASTERA DAN SAYA: KALAU SAYA MARAH AWAK PEDULI APA


PETANG semalam, seorang teman menelefon bertanyakan apakah saya ada menerima apa-apa jemputan menghadiri suatu acara pengumuman hadiah sastera. Kerana memang tiada saya menerima sebarang jemputan sama ada melalui surat atau telefon, maka tiada jugalah jawab saya terhadap tanya teman itu.

Hari ini, 29 November 2010, akhbar Berita Harian di ruang sasteranya, menyiarkan tulisan Nazmi Yaakob yang antara lain menyebut kumpulan cerpen saya "Menanti Buraq" antara karya yang dibawa ke peringkat akhir penilaian Hadiah Sastera Perdana Malaysia 2008/2009.

Usai membaca tulisan Nazmi ini, saya sekejap tercenung memikirkan betapa bagi tahun penilaian 2008/2009,  saya juga memiliki sebuah  buku kumpulan sajak "Kepada Angin Juga" yang diterbitkan oleh DBP pada tahun 2008. Jadi, berdasarkan tulisan Nazmi itu, kerana tidak disebut beliau dalam tulisannya, maka ini bererti kumpulan sajak saya itu memang tidak layak untuk dibawa ke peringkat akhir penilaian.

Sebenarnya, ada atau tidak, diberikan hadiah atau tidak, saya akan tetap juga terus menulis karya demi karya mengikut kehendak dan pilihan saya sendiri. Atau kalau misalnya ada karya saya yang kemudiannya dinilai dan diberikan hadiah, hadiah itu tidak akan pula saya tolak.

Namun, untuk sampai ke tahap terlalu mengharap-harap agar diberi hadiah dan menulis semata-mata kerana mahu mendapat hadiah, itu tidaklah menjadi fokus atau hasrat saya sejak dulu hinggalah kini.

Saya masih ingat,  tahun 1971,  ketika saya menggatalkan tangan mula menulis secara lebih bersungguh dan menulis sajak "Aku Anak Sisa Perang Vietnam", saya tidak sedikit pun membayangkan atau menginginkan bahawa kerana menulis sebuah atau sejumlah sajak, saya pada suatu waktu nanti akan menerima atau diberikan apa-apa hadiah.

Hasrat yang mendorong kegatalan tangan saya agar menulis sajak ketika itu dan juga sehingga kini pun, tidak lain hanyalah keinginan untuk menyatakan sesuatu yang menyentuh hati dan perasaan saya sebagai seorang penyair.  Sesuatu yang akan saya tulis dengan kehendak dan pilihan saya sendiri.

Keinginan untuk menyatakan  segala sesuatu yang menyentuh  hati dan perasaan saya itulah  yang menjadi doronganya dan hadiah bukanlah sesuatu yang diharap atau didambakan.

Saya memang ingin menegaskan dan menyatakannya di sini. Apakah akan diberikan hadiah atau tidak, saya akan tetap juga menulis. 

Tetapi sungguh pun begitu, walau pun hadiah bukanlah sesuatu yang sangat saya dambakan, jangan pula mereka di intitusi tertentu atau yang kebetulan dipilih menjadi panel sesuatu anugerah berasa diri mereka boleh berlagak sewenangnya bagaikan dewa dengan cara meremehkan karya saya dan juga karya-karya orang lain sekehendak hati mereka sahaja.

Walau sebagai penilai mereka berasa  berhak untuk menilai dan memenangkan karya siapa sahaja yang mereka suka, mengikut kehendak dan selera mereka,   walau dengan   fahaman sempit teori dan tanggapan sastera mereka yang jumud,  itu tidak bermakna saya  sedia bersekongkol merelakan perbuatan mereka begitu sahaja dan terus menerus akan berlagak bodoh bagaikan badak kelemasan di lumpur.

Walau pun misalnya saya ini memanglah bodoh dan kurang tahu, namun itu tidaklah bererti saya sampai tidak dapat membezakan antara sesuatu yang memang disengajakan  yang berhasrat ingin  menyingkirkan ke tepi  mana-mana karya yang mereka sebagai penilai  tidak menyukainya kerana tidak termasuk dalam kategori kroninya atau tidak sejalur dengan fahaman sempit teori sasteranya sendiri.

Atau katakanlah di segi karya eceran. Kalau sebuah kumpulan puisi dipilih untuk dibawa ke penilaian akhir, mustahillah kalau sebuah pun karya di dalamnya tiada yang layak  untuk dinilai bagi kategori karya eceran?  Begitu juga dengan kumpulan cerpen atau drama.
 

Tetapi seperti selalu memang begitulah. Walau sudah bertalu tegoran dan pandangan dilontar, reaksi dan perubahan yang positif tetap tidak juga kelihatan terjadi. Panel penilai atau pihak yang menguruskan urusan memberi hadiah ini akan berteguh dengan prinsip setiap penilaian adalah muktamad dan tidak akan merubahkan apa-apa.

Lagak dan angkuhnya mereka selaku penilai dan pegawai yang menguruskan tidak ubah  bagaikan dewa yang bersemayam di mahligai nun jauh di angkasa raya. Di mulut mereka segalanya adalah kata pemutus. Dan sesiapa yang cuba melawan atau kembali mempersoalkan, bersiaplah untuk menerima padahnya.


Seolah-olah, atau mereka ini, dengan sengaja buat lupa betapa segala tugas  serta tanggungjawab yang diserah serta diamanahkan kepada mereka sebenarnya adalah amanah yang diserahkan oleh rakyat agar dilaksanakan sejujur dan ikhlas yang mungkin. Dan tugas itu tidak mereka laksanakan secara percuma. Untuk tugas itu, mereka dibayar upah atau gaji  dan bayaran  gajinya itu adalah  dengan duit  rakyat dan sebahagian dari rakyat itu adalah diri saya.

Saya memang tidak peduli apakah karya saya akan diberikan hadiah atau tidak.  Diberi atau tidak, saya  akan tetap terus menulis.

Tetapi cuba memperbodohkan saya dengan penilaian dan keputusan yang malah lebih bodoh dari perbuatan sekawanan lembu di padang, itulah yang saya tentang dan bangkang. Malah, bedalih untuk sengaja melengah-lengahkan mengumumkan keputusan sesuatu penilaian, dengan alasan rahsia dan belum sampai waktunya, juga bagi saya satu perbuatan yang sama bodohnya dengan perbuatan sekawanan lembu.  

Hendak dirahsiakan apa? Takut akan ada pihak yang membangkang dan buat kecoh? Atau, takut-takut  kalau diumumkan lebih awal  akan  berlaku  amukan  dan rusuhan  seperti kejadian 13 Mei? Ah, bodoh sungguh alasan sebegini.

Mereka sepatutnya berasa malu.  Tetapi seperti selalu, kebodohan sebegitu akan selalu dan sentiasa diulang-ulang.  Walau yang berbuat bodoh itu mengaku dirinya terlalu lebih dan  banyak tahu dari semua pengetahuan yang ada di atas muka bumi.

Saya memang tidak peduli. Tetapi itu tidak bererti saya akan mendiamkan  begitu sahaja kebodohan yang kian ingin menjadi raja dan dewa, yang kini  akan berterusan saya tentang  dan lawan!

Memang pun kini. Kalau saya membentak marah, awak apa peduli? Awak tahu apa sebabnya? Sebab saya sudah bosan dan benci melihat kebodohan yang diulang berulang kali oleh mereka yang mahu berlagak dan berasa dirinya adalah dewa yang boleh menentukan hidup dan mati hayat sastera orang lain!

November 29, 2010

Ahad, November 28, 2010

KE KOREA DENGAN HATI DAN JIWA TERBUKA


Surat undangan rasmi
SAYA merenung bungkusan yang berisikan beberapa judul buku karya saya itu.  Di dalamnya adalah lima buku kumpulan sajak "Kepada Angin Juga", 16 buku kumpulan  sajak terjemahan saya "In The Drunk State" dan empat buku  kumpulan cerpen "Menanti Buraq".

Inilah ole-ole yang akan saya bawa bersama diri saya ketika ke Korea pada 2 hingga 7 Disember 2010 nanti.  Buku-buku ini akan saya hadiahkan, sebagai tanda ingatan dan terima kasih dari pihak diri saya kepada beberapa mereka yang saya fikir sudah terlalu banyak membantu serta berusaha keras  demi memungkinkan diri saya ke sana atas nama puisi dan penyair. 

Selebihnya selain itu, khususnya kumpulan sajak "In The Drunk State", jika masih berbaki, akan cuba saya usahakan bertukar dengan buku-buku teman-teman peserta dari negara lain.

Saya tahu dan sedar, tanpa undangan dari pihak mereka memang agak payah dan sulit untuk saya mengeluarkan wang sendiri bertandang ke luar negara.   Kemujuran dan rezeki yang dilorongkan oleh Allah SWT terhadap saya inilah yang memungkinkan saya ke luar negara lagi kali ini.

Tetapi saya sedar dan insaf. Undangan saya ke luar negara bukan atas tiket atau nama pelancongan.  Saya diundang ke sana atas nama sastera, dan kali ini puisi khususnya.  Jadi saya tidak boleh tidak mesti membawa peranan itu. Sebagai penyair, sesuai dengan hasrat dan maksud undangan mereka. Kerana  itu jugalah, ketika di sana nanti, setiap  tindakan, gerak,  tutur dan kata dan perilaku saya, mestilah sesuai dengan atau maksudnya sebagai seorang penyair.

Maka, sebagai penyair yang diundang oleh sebuah negara atas nama puisi, saya mestilah juga menjaga nama baik negara saya dan para penyairnya.
Maman S Mahayana

Walau memang pun, atau mungkin tiada siapa pun  penyair di negara saya yang akan ambil  peduli apakah saya mewakili imej mereka atau tidak ketika saya di luar negara nanti,  namun secara peribadi saya akan cuba seboleh mungkin untuk mempamerkan suatu imej yang secara jujur dan tulus, baik dan positif di mata pandangan pihak yang mengundang dan juga  teman-teman penyair yang mewakili negara masing-masing di acara itu nanti.

Saya tahu dan sedar saya di Korea bukan sebagai pelancong. Kerana  itu,   saya tidak akan mengamalkan secara berlebih-lebihan apa sahaja perilaku yang menjadi budaya sebagai pelancong ketika di luar negara: mencari wanita  peneman ketika sunyi di waktu malam, menyantaikan diri di  rumah urut atau hiburan atau berbelanja sakan sehinggakan tidak mengigati dunia!

Memang secara peribadi saya berasa beban dan tanggungjawab yang akan saya  galas  ketika di luar negara sebagai seorang penyair agak berat juga.

Tetapi bila mengenangkan  Rahimidin Zahari juga turut sama diundang dan saya tahu serta akui  Rahimidin Zahari  juga merupakan seorang penyair yang baik, jujur dan ikhlas dalam aktiviti kepenyairannya, maka  saya dapat juga sedikit  berlapang hati kerana beban untuk memikul "tugas" sebagai penjaga imej teman penyair lain di negara sendiri ketika berada di luar negara nanti,  telah turut sama dipikul oleh Rahimidin. Jadi ringanlah sedikit beban perasaan saya mengenai itu.

Sebenarnya, sepanjang penglibatan dengan seluruh isi jiwa dan raga saya sebagai sasterawan, ini bukanlah kali pertama saya ke luar negara dan diundang menyertai sesuatu acara.  Jadi pemergian kali ini memang tidak begitu banyak menimbulkan rasa gelisah dan debar di dalam diri sebenarnya.
Lim Kim Hui

Pengalaman-pengalaman sebelumnya, memang banyak membantu untuk nanti bagaimana membawa dan menguruskan diri sendiri ketika berada jauh dari negara sendiri. Malah, pengalaman beberapa kali menghadiri acara sastera di luar negara juga mengajar saya bagaimana pendekatan untuk bercakap ketika di depan forum, melayan soalan-soalan yang palsu atau yang benar dan tidak lupa juga bagaimana hendak melayan para intel yang sebok menyamar sebagai jurufoto atau petugas acara.

Malah kerana pengalaman itu jugalah saya belajar bagaimana caranya untuk kian memperteguhkan rasa cinta dan sayang  saya terhadap negara saya sendiri yang telah saya tinggalkan untuk seketika waktu.

Untuk dan kerana itu, maka saya sama sekali tidak akan mengutuk dan menghina, walau apa cara dan sebabnya negara saya sendiri.

Saya tahu kebanyakan penyair yang datang ke acara itu adalah mereka yang di negaranya sendiri telah dipilih oleh pihak pengajur. Untuk dan kerana itu, tidak mustahil kalau setiap mereka yang datang sebagai peserta itu berasa dirinya terlalu besar dan hebat dan melebihi segalanya dari segenap segi berbanding dengan  peserta dari negara lain.

Tetapi itu semua tidak sedikit pun akan  menggentarkan hati serta perasaan saya.  Saya hanya datang atas nama puisi dan ingin sebanyak-banyak beroleh kemanfaatan darinya. Soal keegoan orang lain, cabaran keadaan, atau mungkin juga cuaca yang lebih mencabar, akan cuba saya hadapi dengan hati dan jiwa terbuka.

Di sana nanti, saya  akan mewajarkan sendiri dan tidak ingin terlalu bergundah hati.

November 28, 2010

Khamis, November 25, 2010

KE KOREA DENGAN PUISI


BERMULA  2 hingga 7 Disember 2010 ini saya akan berada di Seoul, Korea Selatan. Saya ke sana sebagai penyair dan menghadiri jemputan ASEAN-Korea Poets Literature Festival.  Acara ini diselenggarakan oleh ‘The Poet Society of Asia(TPSA)’ .

Saya ke Korea dengan puisi dan saya berasa bangga kerananya. Namun jangan salah sangka.  Saya katakan saya berasa bangga itu bukanlah dengan niat dan maksud hendak menyombongkan diri dan mahu berlagak menyohorkan sesuatu yang sebenarnya tidaklah perlu sama sekali untuk dilagak dan disohorkan.

Sebaliknya, rasa bangga itu lebih kepada ingin menyata dan merakamkan penghargaan terhadap puisi dan dunianya yang sejak sekian lama saya gulati dan sedia juga menerima saya menjadi salah seorang warganya.

Kerana penerimaannya  itulah  maka saya hari ini, walaupun belum lagi sepenuhnya dan sempurna bergelar penyair tetap dengan yakin serta percaya terus menulis puisi demi puisi.

Untuk itulah juga maka saya selalu berterima kasih kepada puisi. Tanpa puisi, siapalah saya di dunia ini. Barangkali, jika tanpa puisi, dan sastera juga, saya hanyalah  seorang manusia yang hidup sehariannya hanyalah mengulangi ritual demi ritual bernama sayur.

Tetapi dengan dan kerana puisi saya berasa hidup saya selalu terisi dan bererti. Dengan dan kerana puisi tiada suatu pun saat dan ruang dalam kehidupan saya yang berlalu terlepas dan menjadi sia-sia  begitu sahaja. Setiap detik dan denyutnya adalah rahsia   yang selalu memberi makna.

Itulah indah dan hebatnya puisi. Yang kerananya juga menjadikan saya tidak berasa sunyi dan sendiri di dunia yang luas serta bising ini.

Siapalah saya tanpa puisi.  Saya masih ingat bagaimana 33 tahun yang silam, tepatnya sekitar bulan Mei 1977 saya yang ketika itu hanyalah seorang pemuda yang sedang diamuk gelisah mencari indentiti dirinya sendiri, tiba-tiba berasa menemukan jalan keluar untuk menyata  perasaan dan pendapatnya melalui sebuah puisi yang pendek dan padat.

Puisi berjudul "Harapan" dan disiarkan majalah Dewan Sastera, Mei 1979 itu hanya menyatakan: "jendela malam/ rumah pasungkah yang paling setia/ kuaklah kemuncakmu/ burung-burungku/ bersama apiku/ memerguk/ tertimbus."

Di situlah saya secara bersungguh menggulati puisi, selepas sekian tahun sebelumnya, sejak  di bangku tahun pertama sekolah menengah, bermain dengan kata dan perasaan sendiri,   untuk memahami dan mengenal apakah sesungguhnya yang dikatakan sebuah puisi.

Saya hanya ingin  bercerita dan mengimbas kembali kehadiran diri di dunia puisinya sendiri .  Selepas kurang lebih 33 tahun menggulatinya, kini saya semakin percaya dan sudah pun terbukti  betapa segala sesuatu yang digulati serta dihayatinya dengan sepenuh, jiwa dan raga, juga dengan kejujuran dan tanpa sebarang rasa pamrih atau mengharapkan pujian dan sanjungan yang tidak perlu,   pasti akhirnya akan beroleh juga ganjarannya dalam bentuk lain yang lebih bermaruah.

Memang sejak dulu saya sedar betapa sebagai penyair saya bukanlah seorang yang terlalu hebat dengan puisinya. Malah terus terang saya katakan, ketika menulisnya,   saya pun tidak pernah peduli apakah puisi saya itu hebat atau tidak. 

Tetapi, apa yang selalu saya perhatikan,  saya hanya ingin berlaku jujur dengan hati serta perasaan saya sendiri.  Saya hanya menulis sesuatu berdasarkan apa yang menyentuh hati, perasaan dan fikiran saya. Soal apakah nanti akan menjadi puisi yang hebat atau tidak, saya tidak pernah peduli.

Saya ke Korea dengan puisi.  Di belakangnya, saya tahu pemergian saya pastilah ini dengan dan kerana ketentuan yang ditetapkan oleh Allah SWT jua, yang dengan iradah serta kehendakNya telah menggerakkan juga hati sejumlah orang untuk berlembut hatinya menghulurkan bantuan membantu saya dengan cara apa pun.

Untuk itu, saya selalu tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Pak Maman S Mahayana yang tidak pernah jemu membantu saya dalam segenap segi.   Juga sahabat saya yang kini bergelar Doktor, iaitu Lim Kim Hui.  Malah sebelumnya juga,  banyak lagi nama-nama lain yang ingin saya nyatakan ucapan terima kasih saya kepada mereka. 

Di Korea dengan puisi. Saya ke sana dengan diri yang sedia untuk melihat, mendengar dan belajar banyak perkara dan ilmu yang mungkin baru dan lebih mencabar dari siapa sahaja. Sebagai penyair yang ingin seadanya, saya hanya ingin tampil sebagai diri saya sendiri.  

Semoga saya tidak ditewaskan oleh cuaca yang semakin mendingin di sana dan semoga saya akan selalu dipelihara keselamatan dan kesejahteraannya oleh Allah SWT.

November 25, 2010

Selasa, November 23, 2010

Korea - ASEAN Poets Literature Festival

Cover Buku In The Drunk State
TANGGAL Ogos 20 yang lalu, saya  tidak terlalu terperanjat atau shock ketika  membaca email kiriman Dr. Lee Yeon dari Hankuk University of Foreign Studies kerana Pak Maman S Mahayana dan Dr. Lim Kim Hui yang juga sudah beberapa tahun selaku tenaga pengajar di universiti yang sama telah memaklumkan  melalui email mereka  akan berlangsungnya acara tersebut di Korea, tetapi tarikh sebenarnya belum dapat mereka pastikan.

Melalui emailnya itu, Dr. Lee Yeon yang merupakan salah seorang The Steering Committee of The Poet Society of Asia  atau ringkasnya TPSA memaklumkan akan berlangsung acara Korea-ASEAN Poets Literature Festival itu dari 2 hingga 7 Disember 2010 di  sana dan saya diundang menyertainya.

Untuk itu, saya diminta menulis dan mengirim ke urusetianya 1 esei dalam dua halaman dengan  single spasi  dan 7 sajak sebelum 13 September 2010.

Menulis atau menyediakan sajak bagi saya tidaklah terlalu sulit kerana saya memang sentiasa, tanpa perlu disuruh atau menunggu apa-apa permintaan,  menulis sajak demi sajak.  Begitu juga untuk menterjemahkannya ke bahasa Inggeris. Selain mesin penterjemah milik Google, saya meminta bantuan anak sulong saya yang memang pun pengkhususannya di bidang pengajaran bahasa ini.

Tetapi esei?  Lama saya termenung dan tercenung. Tema yang ditetapkan "Becoming: Dari manakah Anda datang? Di manakah Anda berada sekarang? Ke manakah Anda menuju kemudian?"

Pada mulanya saya menyiapkan sebuah esei yang antara lain fokusnya mengenai  kenapa ketika mahu berhubung dan berkomunikasi sesama jiran Asianya, bahasa Inggeris  tetap menjadi bahasa perantara dan bukan salah satu bahasa di Asia sendiri.

Namun saya berasa itu tidak menepati tema yang ditetapkan penganjur. Saya mengirim email kepada Dr. Lim Kim Hui dan Pak Maman di Korea dan meminta nasihat serta pandangan mereka.

Mereka juga berpendapat  tulisan itu tidak menepati tema dan menyarankan agar saya menyiapkan sebuah tulisan yang lain. Malah Dr. Lim Kim Hui, tanpa berselindung, mengatakan tulisan saya itu kalau kurang awas boleh menjadi sebuah tulisan berbau rasis di peringkat international.

Mengakuri nasihat mereka, dan pendapat anak yang sulong, saya akhirnya memutuskan untuk menulis sesuatu yang amat dekat dengan dunia dan kehidupan saya sendiri. Di mana saya lahir dan dibesarkan, setakat mana pendidikan saya, cita-cita saya dan ruang kehidupan sebagai seorang penyair di sebuah negeri yang sudah merdeka dan juga harapan-harapan saya di masa mendatang, juga sebagai atau atas nama seorang penyair .

Saya ingin bercerita seadanya sahaja.  Mengakui berterus terang apa yang saya tahu dan apa yang tidak saya miliki. Saya tidak ingin berlagak dan menyombongkan diri. 

Memasuki September, saya menerima email bertarikh 16 September dari Jang Mu-ryeong,  secretary general The Poet Society of Asia  yang menyampai surat undangan secara rasmi.

Selain dipinta mengirimkan foto dan salinan pasport antarabangsa, saya diperingatkan juga agar tidak keberatan membawa bersama karya terkini yang telah diterbitkan untuk dipamerkan  sepanjang acara di sana nanti.

Saya segera teringat kumpulan sajak saya DI NEGERI MABOK.  Malah memang beberapa sajak dari kumpulan ini juga telah diterjemahkan oleh anak saya. Jadi kenapa tidak saya  memilih semua sajak yang sudah diterjemahkan itu untuk dibukukan sebagai oleh-oleh  untuk dibawa ke Korea?  

IN THE DRUNK STATE.  Dengan pelbagai pengertian, dari sudut mana dilihat dan dipersepsikan, saya sangat menyukai judulnya. Bukan hendak mengutuk dan menghina  apa-apa. Sajak-sajak itu sekadar mahu menyedarkan  kita agar kembali menjadi manusia dan tidak terlalu tamakkan kuasa sehingga sanggup berbuat apa sahaja, walhal membunuh dan memfitnah sesama kaum bangsa seagama, semata-mata untuk mengekal kuasa di dalam genggaman.

Ya, dengan buku sajak ini saya akan ke Korea. Juga, dengan sejumlah pengalaman  yang sedia ada yang telah 3 kali keluar negara atas nama "Penyair".

Saya berusaha untuk tidak dan malah mengelak agar tidak tergiur mahu menjadi rasis yang kononnya bercakap atas nama agama, tetapi pada waktu sama memandang rendah setiap orang yang selain dirinya sendiri sahaja.

Cukuplah ketika di Korea nanti saya sekadar menjadi diri saya sendiri yang tidak perlu malu  mengaku kebodohan dan kekurangan dirinya sendiri.

Saya harap banyak yang akan saya dapati dan pelajari di Korea nanti.  Sepanjang di sana, saya berusaha untuk tetap terus menulis di blog saya ini.

Moga Allah merestui perjalananan pergi dan pulang saya nanti.

November 23, 2010

Sabtu, November 20, 2010

MENULIS PUISI, MENCARI CERITA

MEREKA yang semalam mengaku mahu menulis puisi dan digabungkan di dalam kelompoknya,  pagi ini saya ajak  mencari ruang yang teduh di gelanggang  yang lebih luas serta lapang di luar dewan. Tanpa banyak soal, saya menyuruh  mereka  duduk bersila di lantai simen gelanggang yang agak luas itu. 

Sepihak adalah pelajar perempuan  dan sepihak lagi pelajar lelaki. Jangan saling bersentuhan.  Namun usahakan, walau di kelompok yang berasingan tetapi kedudukan kalian biarlah sedekat yang wajar dan boleh. Agar dengan begitu, kita dapat saling rasa memberi dan menerima. Begitu  ujaran saya lagi, yang juga duduk bersimpuh di kelilingi mereka.

Begitu melihat mereka sudah bersedia dengan kertas dan pena masing-masing, saya memulai acara proses menulis puisi pagi  itu dengan kata pembuka selanjutnya.

Menulis puisi itu  samalah dengan menuliskan sebuah cerita. Begitu kata saya dengan suara yang memang sengaja saya lantangkan. Beberapa anak-anak itu menatap saya mendelik-delik.

Kalau ada cerita adalah puisinya. Tanpa cerita maka tiadalah juga puisinya.  Begitu kata saya kepada anak-anak itu lagi. 

Jadi cari dan fikirkanlah ceritanya itu terlebih dahulu. Usah peduli apakah cerita itu serius atau tidak, bererti atau tidak. Yang penting adalah sebuah cerita. Ya, cerita mengenai sesuatu. Cerita mengenai diri sendiri, alam sekitar, keluarga, alam persekolahan dan apa-apa sahajalah. Pokoknya  asalkan cerita.

Maka, tegas saya, mencari atau memikirkan sebuah cerita itu bermula dengan soal APA. Ceritanya APA. Mengenai APA. Soal diajukan kepada diri bertalu-talu. Sampai ketemu dan mendapat jawapannya, dalam bentuk sebuah atau suatu cerita yang dapat hendak dijadikan nanti sebagai sebuah puisi.

Maka itu, sebagai landas  dari proses tanya dan jawab itu, dipergunakan teknik 5W + 1 H.
Teknik ini tidak lain adalah soal  mengenai: APA, SIAPA, BILA, DI MANA, MENGAPA  + BAGAIMANA.

Melalui proses ini tanya demi tanya diajukan bertalu-talu. Tanyalah. Tanyalah. Tanyalah. Tanyalah. Dan teruslah bertanya. (Ketika menyebutlan kata ini, saya teringatkan Sutung Umar RS.  Kata ini  selalu saya dengar disebutkan oleh Sutung  dalam salah satu puisi yang selalu dibaca Sutung  dalam banyak acara baca puisi yang saya juga sama menyertai.  Sebutan kata ini  kemudiannya diakhiri beliau dengan pekikan dengan nada tinggi: TANYALAH!)

Tetapi saya tidak pun menjeritkan apa-apa di penghujung kata tanya yang saya telah ucapkan di hadapan anak-anak pada pagi  itu. 

Selepas melalui proses tanya itu, maka catatkanlah apa sahaja yang terlintas di fikiran kalian. Jangan dipedulikan apakah logik atau tidak logik. Tersusun atau pun tidak. Bagus atau pun tidak.  Ini baru proses mencari cerita dan kata.  Catatkan sahaja. Ingatlah itu. Saya melanjutkan lagi kata.

Mereka pun mulai mencacat dan diselangi pula dengan menung dan manggut-manggut. Kemudian mencatat lagi. Manggut lagi. Mencatat lagi.

Lalu saya biarkan mereka asyik dan leka mencatat dan terus mencatat.

November 20, 2010

Rabu, November 17, 2010

MENGAJAK MEREKA MENULIS

TARIKH:     8 hingga 11 November, 2010
TEMPAT:    Sekolah Menengah Kebangsaan Maran

PERKAMPUNGAN PENULIS MUDA SEKOLAH MENENGAH NEGERI PAHANG

SECARA berterus terang saya meminta sejumlah mereka di dalam kamar yang sendat itu mengaku dan memilih. Siapakah di antara kalian yang berniat di dalam hatinya mahu menulis puisi dan siapa pula yang mahu menulis cerpen, silakan mengangkat tangan? Begitu kata saya.

Hasilnya ada dua  kelompok. Satu kelompok yang mengaku berniat mahu menulis puisi dan satu lagi yang berniat mahu menulis cerpen. Masing-masing dipinta berkumpul di suatu  sudut yang berlainan. Namun berbaki satu kelompok yang lain,  kelompok  ketiga yang mengaku  berterus-terang tidak berminat sama ada puisi atau cerpen, malah penulisan berita atau rencana juga.

Di pihak saya, kerana memang  sudah  dimaklumkan sejak awal oleh pegawai dari Jabatan Pelajaran Daerah Maran selaku penganjurnya, Encik Ramli Yahya,  maka saya sejak dari rumah bersedia untuk bercakap  hanya mengenai puisi dan bahagian cerpen sudah pun ada pakarnya iaitu Hasanuddin Md Isa. 

Kelompok pelajar ini sebelumnya sudah didedahkan dengan ilmu penulisan berita dan rencana di sebelah pagi oleh wakil dari Utusan. Kemudian, mulai sesi  selepas rehat waktu tengahari membawa hingga ke malam, mereka didedahkan pula dengan ilmu cerpen dan penulisan novel oleh Hasanuddin Md Isa yang lebih saya akrabi dengan paggilan ustaz.

Sebelum ke mari, saya sudah dipesankan oleh Encik Ramli Yahya  agar mendorong  pelajar menulis dan mendapatkan sejumlah karya puisi dari mereka. Tidak terlalu sempurna pun tidak mengapa. Begitu sentiasa terngiang pesan Encik Ramli Yahya di telinga saya dan saya berasa bersalah kalau nanti tidak dapat menunaikan pesan itu.

Tetapi saya selalu percaya semua orang, tidak peduli apakah pelajar mahu pun dewasa,  tetap punya hasrat ingin menulis dan melahirkan sesuatu dari dalam jiwa mereka.  

Pengalaman mengendalikan sejumlah bengkel penulisan, antara yang wajar saya sebut ialah bengkel penulisan anjuran  sebuah jabatan ketika di bawah kelolaan Rahimidin Zahari,  di beberapa sekolah sekitar Kuantan di bawah kelolaan Cikgu Nik Adib, Asmui Mustapha dan Hameer Habib dan di Cameron Highland anjuran jabatan tempat bertugas novelis Mohamad  Kholid Hamzah,  meyakinkan saya mengenai itu.

Boleh dikatakan 99 peratus mereka ini memang memiliki hasrat dan cerita serta idea. Tinggal lagi tidak tahu bagaimana hendak bermula dan memulakannya.

Jadi itulah pendekatan atau fokus yang saya pilih. Saya tidak mahu terlalu memberikan mereka teori dan definisi serta istilah. Sebaliknya, saya mahu "mengajak" mereka menulis dengan cara atau method yang telah saya cuba dan uji sudah di banyak bengkel penulisan yang saya kendalikan.

Kini, apa yang saya yang amal dan praktikkan di dalam bengkel itu  bukan lagi teori dan uji kaji, tetapi suatu method yang sudah pun saya absahkan.  Saya yakin, walau tidak menderetkan istilah besar dan hebat, saya akan mampu mengajak mereka mulai menulis.

Saya katakan "mulai menulis" kerana saya tahu mereka yang hadir ke bengkel penulisan saya itu bukanlah mereka yang sudah menulis dan berhasil  menyiarkan karya dalam erti kata yang sebenarnya.

Mereka mungkin sudah pun sedikit menulis, namun itu pun masih di peringkat cuba-cuba.  Jadi dari situlah permulaannya. Mereka mahu diajak agar memesrai dunia  penulisan dan bagi yang sudah mulai sedikit, mahu dimotivasi agar menulis lebih rajin dan bersungguh-sungguh.

Untuk itu, saya tidak akan dan tidak mahu menakut-nakutkan mereka dengan memperkenal teori dan jargon tanpa memberitahu di mana perlu dan gunanya setiap yang disebutkan di depan mereka konon atas nama ilmiah dan akademik itu.

Saya sedar cara atau pendekatan begini memang tidak disukai oleh para pentadbir atau pegawai sastera yang berasa dirinya terlalu banyak tahu dan sok ilmu.

Tetapi saya tidak peduli itu. Soal bagaimana mahu mengajak orang mulai menulis  tidak boleh diselesaikan hanya dengan teori semata-mata. Ajakan ini mesti bersifat mesra dan tulus dan baru diiringi dengan ilmu selepasnya. 

Kerana itulah ketika mulai bercakap dengan mereka,  saya katakan dengan nada dan maksud membujuk, beberapa keuntungan menjadi seorang penulis. Dan tugas saya menjadi lebih mudah kerana dalam sesi sebelum ini semalam, Hasanuddin Md Isa mengaku dan berserta dengan bukti slide foto, menanyangkan  sebuah rumah dan sebidang tanah yang berhasil dibeli beliau hasil dari royalti novelnya.

Tetapi saya tahu, tarikan menulis bukanlah semata-mata kerana kebendaan.  Tentulah ada yang selebih dan selain dari itu. Misalnya, hasrat untuk menyatakan isi fikiran serta perasaan, atau sebagai suatu terapi kejiwaan.

Begitu juga dengan inti dan pengisian sebuah karya, tidak boleh tidak mestilah bertunjangkan ilmu dan pemikiran. Jadi sebuah karya yang melulu bercerita mengenai kegagalan diri, keluarga, tanpa menampilkan sisi-sisi yang positif, sehingga boleh mendatangkan aib kepada diri penulisnya sendiri di hadapan khlayak pembaca,  atau hanya berisikan keseronokan yang melulu, saya katakan berterus terang bukanlah karya yang baik dan digalakkan.

Tetapi ilmu dan pemikiran yang bagaimana, cikgu? Begitu tanya salah seorang peserta,  seorang pelajar tingkatan tiga atau empat dari Sekolah Menengah Clifford, Kuala Lipis  dengan berani dan berterus-terangnya.

Wisdom word. Kata hikmat. Jawab saya sebagai pembuka kata. Kata yang boleh mengajak orang berfikir dan merenung mengenai diri dan kehidupannya sendiri. Nyatakan itu mengikut kemampuan intelek dan usia anda. Nyatakan secara jujur dan bukan dengan niat mahu berlagak.  Tetapi tidak perlu dinyatakan di dalam setiap baris. Kalau hanya sebagai kesimpulan dari keseluruhan puisi itu sudah memadai. Juga, jujurlah dengan diri dan kata-kata anda. Begitu saya lebih lanjut menjawab tanya itu.

Dari jumlah 21 peserta yang memilih menulis puisi, 21 puisi berjaya dihasilkan. Saya tidak  terlalu agresif mengkiritik karya mereka itu di peringkat permulaan kerana tahap yang mereka lalui baru tahap mencari kata untuk sebuah puisi atau sebuah deraf. Malah sebagai galakan dan motivasi, saya meminta deraf itu dibacakan di depan teman-teman dan di antara  mereka, 10 peserta telah dipilih pihak urus setia bengkel untuk membacakan puisi mereka di malam persembahan pada 10 November. 

Baru pada sesi kedua, keesokan paginya, deraf sajak  itu saya kritik dan menyarankan beberapa pembaikan. Tetapi itu saya lakukan selepas sebelumnya kepada mereka saya  perjelaskan komponen-komponen asas yang mampu mengukuhkan binaan sebuah rumah bernama puisi,  seperti pemikiran dan aspek-aspek kebahasaan secara lebih detail.

Tetapi sekali lagi, saya ingin dan perlu berterima kasih kepada Ustaz Hasanuddin Md Isa.  Dalam sesi  penulisan cerpen beliau sebelumnya, aspek-aspek kebahasaan telah disebutkan oleh beliau di depan para peserta.  Jadi, untuk mengelak kebosanan saya tidak mengulangi lagi dalam sesi menulis puisi di peringkat awal, tetapi memperjelaskan lebih detail kepada mereka pada sesi  pemurniaan deraf karya di peringkat  pertama.

Kepada pihak urus setia bengkel dan penganjur, saya dengan tegas telah memperakukan 21 peserta di bahagian puisi layak diberikan serta merta sijil penyertaan mereka kerana mereka telah membuktikan kesungguhan mereka dengan menulis karya.

Saya mendapat maklum, peserta bahagian cerpen belum lagi menerima sijil penyertaan mereka, kecuali setelah mengirimkan karya cerpen mereka pada tarikh yang telah ditetapkan.

Saya seronok bersama mereka. Anak-anak ini punya semangat dan hasrat untuk menulis dan terus menulis. Menjadi tanggungjawab kitalah agar tidak merosakkan hasrat dan niat murni mereka itu. Malah adalah amat kejam andai semangat yang telah mula mereka barakan itu didingin atau dibiarkan kembali menjadi malap begitu mereka kembali menjadi "murid" di sekolah masing-masing.

Kerana itu jugalah, saya bisikkan kepada setiap guru yang mengiringi pelajar agar menubuhkan kelab sastera di sekolah masing-masing sebagai medan pelajar menerus dan mengembangkan bakat menulis masing-masing.

Saya sekadar mengajak dan menyarankan. Tetapi tidak ingin berlagak dan menggurui. Kerana, saya masih tidak lupa saat-saat awal saya bertatih untuk mulai menulis dan menjadi penyair.

Alangkah bosannya andai asyik dijejal dan dikhutbahi dengan teori anu dan ini, sedangkan  cara untuk menulis tidak pernah diberitahu.

Semoga mereka akan tetap terus menulis selepas ini.

Saya mengucapkan selamat menyambut Aidiladha kepada mereka, kawan-kawan, pegawai dan urusetia penganjur, khususnya Cikgu Abu Bakar  dan siapa sahaja yang membantu saya sebelum dan selepasnya.

Juga rakaman ucapan terima kasih yang setingginya kepada Cikgu Ramli, dan dua kawannya dari Pejabat Pelajaran Daerah Maran iaitu Encik Ahmad Shah dan Encik Azli,  yang sanggup  meredah pekat malam yang kian menghampiri pagi semata-mata demi membantu ketika tayar kereta saya pancit angkara terjatuh ke dalam lubang berhampiran Felda New Zealand malam itu.

Terima kasih.

November 17, 2010 

Selasa, November 16, 2010

SASTERA?


SAYA hanya senyum seusai mendengar ucapan dia. Apakah itu senyum yang sinis atau memang benar-benar meniatkan ikhlas dengannya. Entah tidak pasti.

Ingin saya tanyakan kepada dia apakah masih ada segala yang dia sebutkan itu? Kebenaran, kejujuran dan segala macam lagi kata muluk itu.

Apakah dia berasa tersinggung atau tersindir kerana senyum saya itu saya tidak peduli. Saya tidak mahu berbohong menyembunyikan sesuatu yang saya rasakan di dalam hati dengan cara mengucapkan sejuta kata bernada baik dan memuji. Semata-mata agar dia berasa gembira dan senang hati dan tetap terus menyukai saya sebagai kawannya yang amat mengerti. Saya bukan begitu.

Saya mengukur dan menilai antara kata dengan perbuatan atau tindakan. Apakah selari atau jauh menyimpang. Kata kebenaran yang diucapkan dalam setiap kesempatan, apakah benar-benar dijunjung kesuciannya dengan cara sentiasa mendahulukan dalam setiap perbuatan dan pilihan?

Tetapi, kebenaran apa yang dijunjung sebenarnya kalau yang didahulukan adalah perut dan nafsu? Asalkan memberi untung kepada diri dan kelompok, maka itulah yang disokong dan didokong, walau diketahui semua di sebaliknya apa.

Saya tidak sudi dan tidak ingin menilai yang lain sebagai apa. Si halobakah, atau si tamak  yang rakus merebut apa sahaja ruang dan peluang di depan mata. Terserah siapa mereka.

Saya hanya ingin berteguh dengan keyakinan sendiri. Begitu dewa dan berhala baru dinobatkan. Walau saya tahu di permukaan saya hidup seperti apa adanya sahaja. Tetapi lebih rela dari menjual harga diri untuk sesuatu yang lain.

Harga diri? Ya. Saya tidak ingin menukarkannya dengan yang lain. 

Seperti juga sastera yang semakin menjadi alat dan haiwan tunggangan.  Apa  lagi erti dan maknanya kalau tidak lagi memilik harga dirinya sendiri. 

Saya hanya senyum. Senyum yang mungkin kelihatan sinis.  Juga bosan melihat dan mendengar orang bercakap dan bercerita mengenai segala kebaikan dan keindahannya. Juga jutaan harapan dan impian yang disebutkan secara berulang-ulang.

Tetapi manusianya? Kita selalu melupakan segala lakon dan perbuatan munafiknya.  Kita menilai keindahan, kecantikan dan kehebatan karya, tetapi melupakan kemunafikan dan kepalsuan yang mengiringinya.

Kita bercakap mengenai persamaan dan kejujuran. Namun pada waktu sama meletakkan kasta ketika sekejap berpindah kamar ketika minum dan jamuan selepas seminar mengenainya. Tuan pegawai bersama tuan pegawai dan si caca marba di kamar yang lain. Apa ini?
Konon dengan sastera kejujuran selalu dijunjung dan diutama. Namun kenapa dihenyak dan ditekan kalau ada yang menyatakan kurang senang hati dengan cara dan gaya sastera diuruskan?

Ketika inilah saya teringat buah fikir Syed Naguib dan perdebatan antara Shahnon  dengan Kassim Ahmad. 

Tetapi saya juga tidak sedikit pun ingin berasa sedih. Kerana di luar sastera sendiri, saya sudah terlalu banyak dan semakin menjadi lali dengan segala kepalsuan hidup dan manusia.

Konon itulah namanya manusia. Tetapi soalnya menjadi manusia yang bagaimana. 

Saya sudah lama memiliki jawapannya, sama ada dengan atau tanpa sastera. 

November 16, 2010


Khamis, November 11, 2010

DI RUMAH SENDIRI


KEMBALI  aku
memilih untuk bersunyi
di dalam rumah sendiri

ketika hatiku dilanda
bosan dan benci

melihat dan mendengar

mereka  saling berdebat 
dan berkelahi
atas nama parti

tetapi sebenarnya
tidak pernah ambil peduli
untung dan nasib 
bangsanya sendiri

walau menjadi pengemis
di tanah sendiri
dan ditipu berjuta kali
dengan igau dan mimpi 

rekaan pemimpin
yang mengaku 
dirinya bersih dan suci

tetapi semua
hanya untuk keuntungan
dirinya sendiri.

November 11, 2010

Khamis, November 04, 2010

DENGAN CATATAN


TIDAK lupa mencatatkan
dengan huruf dan ingatan

Walau tanpa menoleh

Kerana kutahu
dendam hanyalah
marah yang sekejap 
diredamkan

dan akan membunuhku
di dalam diam

November 4, 2010