Selasa, November 30, 2010

SAYA DAN PUISI: DARI TEMPAT LAHIR, HASRAT DAN TUJUAN

Oleh MARSLI N.O *

DUNIA masa kecil saya adalah sebuah perkebunan yang dihuni pelbagai bangsa manusia. Dunia itu kecil dan agak suram tetapi penghuninya hidup dalam suasana tenteram. Di situ saya lahir dan mengenal manusia  yang hampir senasib: miskin, kerdil dan kurang berpendidikan.

Tetapi saya tidak ingin mempersalahkan takdir kerana situasi yang sedemikian rupa. Saya tahu, banyak negara yang pernah dijajah mengalami nasib yang hampir sama dan serupa.

Di dunia kecil itu, ketika dilahirkan, saya menjadi Melayu kerana bapa dan ibu saya adalah Melayu.

Dan kini, saban tahun, tidak  begitu payah mengingat peningkatan usia saya kerana tahun kelahiran saya adalah  sinonim dengan tahun kemerdekaan negara saya.

Saya percaya dan mengerti. Kemerdekaan sebuah negeri bermakna rakyatnya bebas untuk menentukan arah dan hala pemerintahan negaranya sendiri. 

Tetapi dalam erti kata sebenarnya, apakah tidak mungkin lahir pula penjajah dalam bentuk baru yang ingin menguasai dan membentuk pemikiran rakyat agar selalu tunduk dan bersetuju. Apa lagi bila kuasa menjadi boneka dan siapa yang menguasai dianggap nabi atau wali yang tidak boleh tidak mesti dipercayai segala suruh dan perintahnya.

Kesewenangan dan sikap autorithan yang membelenggu rakyat akhirnya memburamkan wajah dan makna sebenar kemerdekaan yang selalu dicita-citakan manusia, kemerdekaan berubah menjadi utopia dan sia-sia.

Di sebuah negeri yang merdeka, nilai dan harga seorang manusia bukan hanya kerana perutnya telah sendat berisi tetapi sekaligus juga soal bagaimana otaknya diisi dan nilai-nilai kemanusiaan, hak berpolitik dan berbudayanya  juga perlu turut sama diperhitung.

Buat diri saya, kerana tidak mahu sekadar menjadi manusia yang sibuk menguruskan perutnya semata-mata, saya dengan yakin telah memilih menjadi penyair.

Walau saya tahu, menjadi seorang penyair di sebuah negeri yang sedang sibuk dan ghairah untuk menjadi maju, tidak memungkinkan saya menjadi kaya atau selalu disenangi, saya tetap juga menulis dan membacakan sajak-sajak saya.

Saya tidak peduli kalau dianggap manusia yang suka nyentrik dan syok sendiri. Apa lagi kalau seorang penyair seperti sering tidak diacuhkan di negerinya sendiri. Saya memilih untuk tidak meminta tetapi selalu ingin memberi. Diterima atau tidak, tidak pernah membuat saya berputus asa.

Sebagai individu Melayu yang menulis sajak, saya sentiasa menjunjung tinggi nilai kesejagatan dan  menentang sebarang bentuk kekangan yang bobrok dan yang bukan pada kewajarannya.

Di mata saya, setiap manusia adalah sama dan saya sentiasa ingin mengenal serta  bersahabat dengan mereka.  Dan sebagai penyair Melayu di benua Asia, saya selalu berharap agar sajak-sajak saya menjadi jambatan persaudaraan tanpa kenal batas dan sempadan.

Tetapi  menjadi Melayu, buat diri saya, adalah hidup yang selalu berdepan dengan perjuangan  serta dilema. Sebagai manusia Melayu, sejak kecil saya dididik  agar selalu besikap sopan, menghormati orang yang lebih tua dan berkuasa.

Menjadi manusia Melayu juga bermakna saya mesti selalu berbicara dengan bahasa yang merendah dan tidak membentak. Dan agar tidak sampai dianggap kurang ajar, saya mesti selalu berusaha menjadi manusia Melayu yang patuh terhadap norma dan susila ini.

Namun pada akhirnya, saya mesti memilih hala dan arah kepenyairan saya secara sendiri: bersikap berani dan memilih untuk selalu berpihak kepada kebenaran. 

Sebagai penyair  yang lahir dari sebuah dunia kecil dan suram, saya tidak ingin bersekongkol dengan sikap suka berbuat sekehendak hati atas nama politik, yang secara langsung mahupun tidak selalu memangsakan rakyat kecil dan tidak berdaya.

Kerana itulah, saya memilih untuk berteriak dan membentak melalui sajak-sajak saya. Tidak mengapa andai saya dianggap penyair yang kurang ajar dan suka membuat onar semata-mata demi sesuatu yang saya yakini sebagai hak dan benar.  Khususnya untk mereka yang tidak mampu bersuara dan selalu dihenyak kerana kekecilan dan kekerdilannya.

Walau saya tahu teriak dan bentak saya, lewat sajak-sajak saya, tidak akan mungkin menggoyahkan sebuah gunung yang kukuh, namun setidaknya, saya sudah bersuara menyatakan sesuatu yang benar dan hak.

Walau apa dan bagaimana sekalipun,  saya sudah melaksanakan tugas dan tanggungjawab saya sebagai seorang manusia yang kebetulan dianugerahi Tuhan kebolehan sebagai penyair.

 Ogos 28, 2010

* Esei untuk forum di acara Korean-ASEAN Poets Literature Festival


POEM AND I: FROM BIRTHPLACE, DESIRE AND AIMS
By MARSLI N.O

MY childhood world was a rubber plantation resides by variety of people. That world was small and quite gloomy, but the residents live peacefully. I was born there and got to know the people who shared the same fate: they were poor, inferior and quite illiterate.

But I do not want to blame fate for that kind of situation. I am fully aware that for most countries that had been colonized , they probably share almost similar fate.

In that small world,  I was born as a Malay because my parents are Malays.

And now, for each passing years, I never have difficulty to recall my age as I was born on the same year of my country’s independence.

I do believe and understand. A nation’s independence means the people are free to determine its course  and direction according to their will.

However in reality, it is possible that new form of colonialism  will try to invade the mind of the people so that they will obey and acquiesce? This is when power dominates everything and serves like a puppet. The puppeteer gains absolute power and control as the followers follow  and obey their order with an alacrity to obey the saint and the prophet. 
 
All these will spark authoritarian attitudes and rash decisions that violate individual liberties that sooner or later, will diminish the true meaning of independence that the people dream off. In the end freedom is nothing but an utopia.

In a free country, a person’s dignity does not lies solely on the matter of feeding one’s  stomach. Yet, how he feeds his brain with human values, political rights  and  culture should also be taken into consideration.

As for me, I’ve confidently decided to be a poet since I dont want to be a person who is merely engrossed in feeding hiw own stomach.

Even if I knew, in a country that is so passionate in becoming developed nation, it is impossible for a poet like me to become rich or gain any public admiration. But still, I will write and contine to recite my poem.

I don’t care if  I will be considered as eccentric or self-absorbed. Especially when a poet often is a public oblivion in his or her own country. I choose not to ask but instead always giving. Whether it is accepted or not, it will never bring me down.
 
As a Malay who writes poem, I always uphold universal values and resist any form of  limitation or corruption which inappropriate.
 .
From my perspectives, every human is equal and I will always want to know and befriend them. And as a Malay poet in Asian region, I always hope that my poems are building a foundation for friendship that has no boundaries.

But to be a Malay, it is for me, a kind of life that faces constant struggles and dillemas. As a Malay, I was taught to act in decorous manners and to respect the elders and those with influence.

Becoming a Malay means I must always speak with humilty and without raising my voice. And so that I won’t appear rude, I must always  try to become a Malay that conform to these norms and ethics.

Yet in the end, I must choose my own path as a writer: which is being bold and always uphold the truth.

 As a poet, who was born from a confined gloomy world, I wont tolerate political actions which intentionally or unintentionally victimise the opressed.
  
For these reasons, I choose to shout and snap through my poems. It does not matter for me if I am being label as a punk who incite chaos for voicing out something that I believe as true and appropriate. Especially voicing out for those who are not able to speak up and have always been marginalized just because they are the minorities and inferior compared to the rest.

Through my poems, I am fully aware that all the bursts and contstant outcries might not even melt a sturdy mountain, but at least I have voiced things which are true and rightly appropriate. 

No matter what and how it is, I have fulfilled my responsibility and duty as a human being that is coincidently gifted by God with the talent of a poet.

 Ogos 28, 2010

Translated by Marziah Ramli.

3 ulasan:

benuasuluk berkata...

Sdr. Marsli, saya senang dengan kertas yang jujur begini; menumpang bangga sdr. dan Rahimidin mewakili kami.

Tanpa Nama berkata...

Memang begitulah sewajarnya laku Penyair, bukan sahaja bait-bait indah, namun terkandung kata juang, berani menyatakan kebenaran melenyapkan kebatilan. Tahniah Tuan Marsli N.O, teruskan dipersada =)

MARSLI N.O berkata...

Sdr Benuasuluk dan Putra: Terus terang, saya suka membaca reaksi kalian yang ini. Buat kalian, selamat terus berkarya.

MARSLI N.O